Bosan.
Segala
penjelasan yang dia sampaikan membuatku bosan setengah mati. Sebenarnya aku
ingin menguap lebar-lebar di depan wajahnya, hanya saja aku masih punya
kesopanan. Mana mungkin aku bisa menguap lebar di depan wajahnya jika dia
berstatus guruku.
Bola mataku
bergerak tak tentu arah, Lelah memperhatikan ucapannya yang bagiku sama-sama
saja. Sebentar-sebentar matanya yang besar, dan bola mata berwarna hitam itu
seakan-akan keluar jika aku ketahuan akan membantah ucapannya. Hidungnya
kembang kempis. Bah, padahal tak ada yang bisa dia banggakan dari hidungnya
yang bengkok dan terlihat seperti tokoh antagonis di manga yang sering kubaca.
Pipinya yang
cengkung seakan telah menanggung beban berat, dan bentuk mukanya yang yang
aneh, jika aku amati bentuk mukanya berbentuk segitiga. Pokoknya, aneh sekali.
secara keseluruhan memang wajahnya terlihat seperti ikan laut dalam. Tahu kan,
ikan besar yang menyeramkan dan memiliki mata besar serta lidah dan gigi
bertaring seperti akan memangsamu hidup-hidup.
Jangan-jangan
dia memang seorang ikan laut dalam pada
kehidupan sebelumnya. Jangan salah, dalam ajaran kepercayaanku, ada yang
namanya karma dan samsara. Hidupmu saat ini ditentukan amal dirimu pada
kehidupan sebelumnya. Nah, mungkin saja pada kehidupan sebelumnya dia merupakan
ikan laut dalam yang berbaik hati menyelamatkan ikan laut dangkal, dan pada
kehidupan saat ini dia berubah jadi
manusia. Bisa saja kan. Namanya juga karma. Aku yakin, dia tidak akan mencapai
moksa jika hidupnya saat ini menggerutu terus padaku.
Tunggu, kenapa
wajahnya berubah menjadi ikan yang seperti aku bayangkan. Gigi-giginya yang
tajam tiba-tiba dipamerkan padaku. Siripnya mencuat dibalik kedua telinganya.
Ludahnya muncrat ke arahku dengan seenaknya. Dia kira apa ludahnya tidak bau.
Aku yakin, dia tidak pernah menyikat gigi. Aku lupa, bukankah ikan memang tidak
pernah menyikat gigi. Nafasnya megap-megap, seperti ikan yang sedang bernafas
di luar air. Seakan-akan ia sedang mengahadapi kematian. tapi, tunggu. Kenapa
hidungnya tidak kembang-kempis lagi, malah dia sekarang tak mengeluarkan suara
apapun, kecuali ia sedang bernafas lewat mulutnya.
Aku perhatikan
kulit tubuhnya pun berubah. Muncul-muncul sisik ikan yang tajam, keras namun
rapuh, dan berlendir menjijikan. Mataku yang salah, atau memang dia berubah
menjadi ikan. Hah, benar dugaanku. Memang dalam kehidupan terdahulunya dia
merupakan ikan laut dalam yang sok berbuat kebajikan.
Sebentar, tapi
mengapa dia berubah menjadi ikan. Aku mengedarkan mata dan memperhatikan
teman-teman kelasku yang sedang duduk rapi dibelakangku juga mulai berubah
wujud. Ada yang berubah menjadi rubah, berang-berang, kelinci, angsa, bebek,
babi, anjing, gajah, badak, singa, bahkan berubah menjadi burung hantu. Lucu
sekali bentuk kehidupan mereka yang terdahulu. Rasanya aku ingin membiarkan
jemariku meluncur di permukaan bulu-bulu lucu nan lembut kelinci dan singa. Aku
lihat mereka tidak kaget dengan perubahan yang mereka alami, seakan-akan itu
memang hal yang sangat biasa.
Kini mataku
kembali berhadapan dengan mata guruku yang telah berubah menjadi ikan laut
dalam. Tanpa aku sadari, sekarang dia sudah berada dalam sebuah bak besar
berisi air, yang aku duga berisi air laut. Ikan laut dalam tidak akan bertahan
di air tawar kan. Ia masih megap-megap di dalam baknya sambil memandangku
tajam. Matanya seketika berubah kaget. Mulutnya berucap-ucap tak jelas sambil
mencoba menggerakan siripnya panik. Entahlah, mengapa dia harus panic melihatku.
Padahal dia biasanya memarahiku.
Dasar tidak
jelas. Kerongkonganku terasa kering, mungkin aku butuh air dan makanan.
Ngomong-ngomong aku lapar sekali. sudah berapa lama aku duduk seperti tawanan
dihadapan guruku yang masih panik itu, entah karena apa. Sudahlah. Aku melirik
jam tanganku yang aku pakai di tangan kiri, dan aku heran serta kaget melihat
wujudku sekarang.
Aku rasanya
ingin tertawa terbahak-bahak. Mentertawakan dunia yang aku rasa memang adil.
Tapi yang keluar dari mulutku adalah desisan-desisan mengancam sekeliling,
muncul gigi taring di setiap sudut mulutku dan bisa yang aku rasa mungkin
beracun. Ah, aku berubah menjadi ular ternyata.
Aku bahagia
sekali. Tuhan memang adil, jadi aku tidak usah bersusah payah jika ingin
mengambil darah dan mematikan makhluk yang mencoba untuk menggangguku. Dengan
wujud ini saja, makhluk hidup lainnya pun sudah lari ketakutan dan tak mau
melihatku. Lihatlah, guruku saja masih panik, dan mencoba untuk pergi
sejauh-jauhnya dariku. Tenang saja, aku tidak akan memangsamu guru. Lagipula
kau tak bisa kemana-mana. Kau kan berada di bak besar, bukannya berada di
lautan. Bodohnya dirimu.
Aku mencoba
berjalan melata sambil menjulurkan lidahku yang membuat teman-temanku
ketakutan. Aku tahu aku licin, lebih tepatnya licik dan cerdik. Hidup memang
harus seperti itu, karena tidak ada hidup yang mudah. Kali ini, diantara
teman-temanku yang gemetar ketakutan, aku menemukan sesosok ayam jantan yang
sedang berkokok panik melihatku. Rasanya, aku lapar. Baiklah, wahai temanku,
serahkan saja hidupmu padaku. Aku mendekatinya dan mulai merasakan bulu-bulunya
yang menggiurkan. Rasanya sangat enak. Hemm, apalagi darahnya. Selamat makan.
Aku tersentak
ketika seseorang menguncangkan pundakku. Ia berbisik-bisik tak jelas ke arahku.
Secara otomatis, aku menoleh ke belakang dan mendapati Mita dengan jengkel
menatapku. Ia menunjuk-nunjuk sesuatu yang ada di depanku. Saat aku melihat ke
arah depan, aku mendapati guruku masih berceloteh lebar mengenai rumus-rumus
yang aku benci.
Mataku
memandangnya malas, dan aku topangkan kepalaku di tanganku. Dengan sebal aku
mencoba memasukkan rumus-rumus menyebalkan itu ke otakku. Sesaat, aku merasa
aneh. Mengapa ada bercak darah di bajuku, dan saat aku menoleh ke depan guruku
sudah berubah menjadi ikan laut dalam yang ada dalam lamunanku tadi. Aku
mengelengkan kepalaku dengan rasa tak percaya.
Tunggu, ini
hanya mimpi kan?
Apa aku berubah
menjadi ular yang mengagumkan lagi?
Uhuk, uhuk. Tugas kelima nih. Buat tugas keempat gak tahu filenya dimana :)
tanpa edit nih.
Cerita terinspirasi dari.. gak tahu apa.
Bye
0 komentar:
Posting Komentar