Awan-awan hitam besar yang nampaknya akan
segera menumpahkan air berkumpul menjadi satu bagian seperti membentuk payung
di atas sebuah rumah yang sedang dalam keadaan ramai. Terdapat ibu-ibu yang
sedang mengobrol, entah mengobrolkan apa. Tetapi, yang mencolok ada satu orang
perempuan paruh baya dengan mata bengkak dan hidung memerah mencoba untuk
tersenyum paksa kepada seorang ibu paruh baya yang sedang duduk di hadapannya. Tiba-tiba
seorang perempuan dengan kisaran umur
belasan tahun datang sambil menangis kencang dan menubruk ibu paruh baya itu.
Ia memeluk erat si ibu sambil terisak dan berkata tidak jelas.
Suara
seorang perempuan sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an terdengar dari dalam
bagian rumah. Ia kemudian berhenti dan menatap seorang perempuan yang lebih
muda darinya dengan pandangan aneh. Tanpa bertanya lagi, ia kemudian larut
kembali dalam bacaannya. Sedangkan, perempuan muda yang baru datang itu
terduduk disampingnya. Memandang ke depannya yang menampakkan tubuh seseorang
yang telah terbujur kaku dan ditutupi kain batik yang biasa dipakai untuk
menutupi jenazah.
Ia
menampakkan pandangan kosong, pikirannya berkelana. Kemudian, ia memandang
sekitar ruangan. Kosong, hanya terisi perabotan seperti lemari buku. Ia melirik
ke sampingnya, tak ada orang selain dirinya, perempuan disebelahnya yang ia
selalu panggil dengan kata “Teteh” dan jenazah seorang perempuan yang seumuran
dengan dirinya yang dipanggil juga dengan kata “Teteh”, padahal dalam segi umur
lebih tua dirinya.
Terdengar
suara langkah dari arah dapur dan menampakkan seorang pria tua dengan rambutnya
yang sudah penuh dengan uban. Bibirnya tersenyum ke arahnya, hanya saja tidak
sampai ke mata. Raut wajahnya lelah menanggung beban, tetapi ada kelegaan di
wajahnya merasa perjuangan putrinya sudah selesai. Pria itu yang ia panggil
dengan sebutan Uwak, memanggilnya ke dapur bersama tetehnya. Mereka duduk
saling berhadapan, dan si uwak mulai bercerita tentang kronologis kematian putri bungsunya. Ia tersenyum, tetapi matanya mengeluarkan air mata. Sedih melihatnya,
kedua wanita itu ikut terisak. Mereka tahu rasanya kehilangan orang yang berharga,
mereka tahu bagaimana melihat detik-detik kematian, mereka juga tahu
rasanya tak akan pernah bisa melihat orang tersayang mereka lagi, dan mereka tahu bagaimana rasanya kesepian.
Uwak
menunduk, tangan-tangan besar dan telah berkeriput itu mengusap wajahnya kasar.
Lalu ia memandang ke arah ruangan tempat anak perempuannya tengah berbaring.
“Teh
Eneng saat dimandikan, wajahnya terlihat cantik sekali. Mungkin dia akhirnya
lega, dia bisa hidup lagi.” Tangis kedua perempuan itu pecah dan suara isakan lebih keras dibanding beberapa saat yang lalu. Mereka iba, Uwaknya telah kehilangan satu-satunya putri yang selalu dimanjanya.
***
Hai, hai.
Untuk menepati janji saya kepada teman saya tercinta yang rajin komentar di blog abal saya ini, saya persembahkan tugas penpop kedua saya. Yah, maaf ya tulisannya masih abal. :)
Tugas ketiganya menyusul ya. Soalnya notebook diriku tidak bisa digunakan.
Bye.
***
Hai, hai.
Untuk menepati janji saya kepada teman saya tercinta yang rajin komentar di blog abal saya ini, saya persembahkan tugas penpop kedua saya. Yah, maaf ya tulisannya masih abal. :)
Tugas ketiganya menyusul ya. Soalnya notebook diriku tidak bisa digunakan.
Bye.
2 komentar:
Yeayyy dipost!
Ini bukan tentang Januari lalu kan..?
Wah. Memang kamu benar prit. Dan aku belum sempat untuk melihat kakak sepupuku untuk terakhir kali saat dia hidup. :'(
Semoga dia berbahagia.
Posting Komentar