Senin, 18 Juli 2016

Rumah Duka



Awan-awan hitam besar yang nampaknya akan segera menumpahkan air berkumpul menjadi satu bagian seperti membentuk payung di atas sebuah rumah yang sedang dalam keadaan ramai. Terdapat ibu-ibu yang sedang mengobrol, entah mengobrolkan apa. Tetapi, yang mencolok ada satu orang perempuan paruh baya dengan mata bengkak dan hidung memerah mencoba untuk tersenyum paksa kepada seorang ibu paruh baya yang sedang duduk di hadapannya. Tiba-tiba seorang perempuan  dengan kisaran umur belasan tahun datang sambil menangis kencang dan menubruk ibu paruh baya itu. Ia memeluk erat si ibu sambil terisak dan berkata tidak jelas.
            Suara seorang perempuan sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an terdengar dari dalam bagian rumah. Ia kemudian berhenti dan menatap seorang perempuan yang lebih muda darinya dengan pandangan aneh. Tanpa bertanya lagi, ia kemudian larut kembali dalam bacaannya. Sedangkan, perempuan muda yang baru datang itu terduduk disampingnya. Memandang ke depannya yang menampakkan tubuh seseorang yang telah terbujur kaku dan ditutupi kain batik yang biasa dipakai untuk menutupi jenazah.
            Ia menampakkan pandangan kosong, pikirannya berkelana. Kemudian, ia memandang sekitar ruangan. Kosong, hanya terisi perabotan seperti lemari buku. Ia melirik ke sampingnya, tak ada orang selain dirinya, perempuan disebelahnya yang ia selalu panggil dengan kata “Teteh” dan jenazah seorang perempuan yang seumuran dengan dirinya yang dipanggil juga dengan kata “Teteh”, padahal dalam segi umur lebih tua dirinya.
            Terdengar suara langkah dari arah dapur dan menampakkan seorang pria tua dengan rambutnya yang sudah penuh dengan uban. Bibirnya tersenyum ke arahnya, hanya saja tidak sampai ke mata. Raut wajahnya lelah menanggung beban, tetapi ada kelegaan di wajahnya merasa perjuangan putrinya sudah selesai. Pria itu yang ia panggil dengan sebutan Uwak, memanggilnya ke dapur bersama tetehnya. Mereka duduk saling berhadapan, dan si uwak mulai bercerita tentang kronologis kematian putri bungsunya. Ia tersenyum, tetapi matanya mengeluarkan air mata. Sedih melihatnya, kedua wanita itu ikut terisak. Mereka tahu rasanya kehilangan orang yang berharga, mereka tahu bagaimana melihat detik-detik kematian, mereka juga tahu rasanya tak akan pernah bisa melihat orang tersayang mereka lagi, dan mereka tahu bagaimana rasanya kesepian.
            Uwak menunduk, tangan-tangan besar dan telah berkeriput itu mengusap wajahnya kasar. Lalu ia memandang ke arah ruangan tempat anak perempuannya tengah berbaring.
            “Teh Eneng saat dimandikan, wajahnya terlihat cantik sekali. Mungkin dia akhirnya lega, dia bisa hidup lagi.” Tangis kedua perempuan itu pecah dan suara isakan lebih keras dibanding beberapa saat yang lalu. Mereka iba, Uwaknya telah kehilangan satu-satunya putri yang selalu dimanjanya.

***

Hai, hai.
Untuk menepati janji saya kepada teman saya tercinta yang rajin komentar di blog abal saya ini, saya persembahkan tugas penpop kedua saya. Yah, maaf ya tulisannya masih abal. :)
Tugas ketiganya menyusul ya. Soalnya notebook diriku tidak bisa digunakan. 

Bye.



2 komentar:

Anonim mengatakan...

Yeayyy dipost!
Ini bukan tentang Januari lalu kan..?

Aci mengatakan...

Wah. Memang kamu benar prit. Dan aku belum sempat untuk melihat kakak sepupuku untuk terakhir kali saat dia hidup. :'(
Semoga dia berbahagia.